Mengingatnya
Mendung.
Tengadah kepalaku ke atas langit, menoleh ke sisi kanan kiri jalan,
banyak sekali orang berjualan hari ini dan mendengar teriakan anak
kecil berlarian, “Awas Jatuh, enakan main sama kakak. Sini Sini!”
teriakku, mereka hanya mengejekku lalu tertawa dan berlarian lagi.
Aku hanya tersenyum sembari menikmati mendung sore di depan rumah.
Tapi
tidak untuk hari ini, komputer itu mengerjap - ngerjap, menungguku
dengan tidak sabar dan memelototiku. Aku terpojok disudut rumah,
mengintip sesekali kemudian aku tertunduk ke bawah, aku benar –
benar takut, aku hanya seorang diri disini, tidak aka nada yang
menolongku jika aku terkapar pingsan. “Tuhan . . . bisa tidak kau
menguatkanku untuk mendekatinya ? Tolong aku . . .” ratapku dalam
hati. Pelan tapi pasti kuberanikan diriku untuk mendekatinya. Tepat
didepan layar komputer itu, ku dekapkan tangan didada dan berdoa
“Tuhan . . . aku mohon, jangan biarkan komputer ini membuatku
kecewa”
Ku
tekan tombol enter dengan cepat. Ku tutup mataku, ku buka perlahan
“Mohon
maaf, peserta atas nama ARBA’AH ZIVA KIREI dinyatakan TIDAK
DITERIMA pada SNMPTN 2012 Jalur Ujian Tertulis . . .” tulisan itu
terpampang di screen ukuran tanggung ini. Aku menangis, kenapa aku
tidak bisa lolos. aku hanya bisa menghabiskan uang orang tua, aku tak
bisa membanggakan mereka. Aku tak mengingat-Nya lagi.
Ku
usap air mataku sambil tersedu sedu, ku tekatkan untuk mengambil
telepon genggamku. “Tuut . . . Tuut . . . Iya adek ?” sapa ibuku.
“Bu, Aa ak aku ga lolos.” Aku tidak dapat menahan air mataku,
ku ulang terus kata – kataku “Aku ga lolos, bu. Aku ga lolos di
semua jurusan. Aku ga lolos. Maafin aku . . . Maafin aku, ibu”. Ibu
ku hanya terdiam mendengarku berkata tanpa henti, kata kata yang
sangat membuatnya kecewa. “Eemm . Iya sudah, yang penting adek udah
berusaha. Yak an ? Sudah jangan nangis, di terima ya. Inget kan
setidaknya kita semua sudah berusaha”. Aku tetap menangis dan haru
merasakan betapa beruntungnya aku memiliki Ibu seperti ini. Aku hanya
menjawab “Iya, Bu.”. Tersisa sedikit isak tangisku hingga ku
tutup telepon itu.
~Beberapa
hari kemudian~
“Ayah
. . . aku pulang!”
“Dari
mana, dek ? kok masih pakai seragam, kan udah lulus.”
“Anu.
Baru selesai urusin Ijazah, yah. Ibu kemana ?”
“Di
dalam. Eh iya, ibu mau ngomong sesuatu sama kamu, samperin gih!”
“Oke
deh.”
Beberapa
hari setelah tangisku itu, aku merasa semua sudah kembali seperti
semula. Ibu, Ayah kecuali hatiku. Aku sering sekali termenung,
bertanya pada diriku sendiri dimana aku harus bersekolah, aku tau
masih banyak peluang di Diploma, tapi seharusnya aku berada di
Sarjana.
“Hai,
bu. Kata Ayah, Ibu ingin bicara denganku. Ada apa ?”
“Di
ITS uda dicari peluangnya ? Tadi kata teman ibu, di UNAIR juga masi
dibuka jalur 3, tapi ya diploma. Mau coba ?”
“Tapi
aku tidak terlalu berminat disana. Aku ingin masuk ITS saja, bu.”
“Dek,
adek kan kemarin sudah gagal, kenapa tidak hanya sekadar mencoba,
siapa tau keberuntungannya ada salah satu di antaranya. Kamu ingin
masuk Universitas Negri kan? UNAIR kan bagus”
Aku
terdiam, aku berfikir, sekarang sudah bukan saatnya minat atau
tidaknya, yang penting negri. Bener juga kata ibu, UNAIR di pandang
bagus disini. Aku ingin masuk negri, aku harus belajar lebih giat dan
kenapa tidak les privat saja
“Ibu
. . . boleh ikut les privat ? Guru SMK ada yang bersedia loh”
“Eemm.
boleh deh. Seminggu 3 kali aja ya”
“Hehehe
. . . iya deh. Guruku juga bersedia dibayar sukarela, bu . . .”
2
minggu sebelum hari tes Diploma ITS dan UNAIR, aku belajar dengan
sungguh – sungguh, aku merasa sangat nyaman karena mendapat les
privat khusus dan tidak munafik, aku semakin percaya diri. Semoga ini
akan jadi kejutan yang meriah untukku.
Sudah
1 minggu berturut – turut aku menjalani tes, kali ini rasanya sudah
jauh lebih baik karena telah melepas beban. Dan hari yang aku tunggu
– tunggu pun tiba. Aku cari laman Universitas ITS, ku masukkan nama
dan nomor pesertaku. Kurang dari 5 detik, telah muncul laman
kegagalanku di Diploma ITS. Waw . . . cukup terhenyak karena aku
sadar di mana IQ ku berada dan jauh di bawah mereka. Hati ini masih
sakit karena ITS adalah Universitas impianku.
Aku
sudah kebal. Aku tidak takut jika gagal di Diploma UNAIR, aku tidak
peduli karena UNAIR bukan prioritasku. Tidak ubahnya ramalanku, aku
gagal di sini dan aku tahu kenapa. Siapa yang tak bisa seperti
mereka! Sekali lagi. Sekali lagi. 3 kali sudah aku mengecewakan Ibu
dan Ayahku.
Di
ruang santai, aku dan Ibuku merebahkan badan sejenak, di tempat ini
juga kami terbiasa bercerita, tentang apa saja.
“Adek
. . . terus rencanamu apa setelah ini ?”
“Tidak
Tahu. Menurut Ibu gimana ?”
“Ibu
juga bingung. Ibu kan masih awam yang namanya kuliah. Kan adek juga
yang mau kuliah bukan Ibu.”
“Erghemb..”
pura pura berdeham “Aku sadar diri kalau otakku mungkin di bawah
standar pesaing Sarjana ITS, Begitu sadarnya sekarang aku sudah tidak
memikirkan kegagalanku lagi. Tapi saat aku tidak lolos Diploma ITS,
aku baru mengerti level orang seperti aku memang tidak layak duduk di
bangku itu. Aku sudah percaya diri saat itu, soal yang aku jawab pun
tidak terlalu susah. Tapi begini hasilnya. Aku juga bingung, sangat
amat merasa . . ya begitullah.” Air mataku terus menetes saat
mengatakannya, tak jauh beda dengan ibuku yang bulir air matanya pun
ikut luruh.
“Dek
. . . Tuhan tidak pernah tidur, Dia yang telah merencanakan semuanya
menjadi seperti ini. Mungkin kita harusnya mengoreksi diri. It’s
Oke
kita sudah usaha untuk les ini itu, beli buku ini itu, keluar uang
banyak. Tapi mungkin kita lupa kepada-Nya, usaha kepada-Nya, meminta
kepada-Nya dan beribadah yang berlebih karena kita menginginkan
sesuatu yang ingin di kabulkan. Adek pernah berpikir seperti itu ?
Jangan lupa, karena semua keputusan yang di buat berasal dari
Dirinya.”
Isakku
semakin keras terdengar. Aku sadar, aku jarang sekali beribadah
kepada-Nya, memohon ampun dan bersungguh – sungguh berucap
keinginan. Aku telah menyekutukannya dengan ilmu dari orang – orang
yang akhirnya membuatku sombong dan angkuh. ‘Ampuni aku, Ya Tuhan,
aku hambamu yang tidak tahu bersyukur’.
“Iya,
Bu. Aku tau. Untuk tahun ini, aku tidak berencana mencari Universitas
Swasta. Aku ingin berjuang lagi tahun depan. Doain aku ya, bu !?”
“Apa
yang tidak untuk anakku tercinta”
Selang
beberapa hari setelah perbincangan ku dengan Ibu dan tobatku
dengan-Nya. Aku menjalani hari dengan lapang dada. Hingga pada siang
itu, tak tanggung tanggung Ibu dan Ayahku memanggilku langsung. Ada
surat dari Pak Pos pagi ini, pelan – pelan mereka memberitahukan
bahwa aku mendapat Surat Undangan Diploma 1 ITS yang di layangkan
didepan mataku. Tercatat namaku sana, tepat dan tidak ada kesalahan
penulisan cetak. Aku menangis bahagia,. Ibu dan Ayahku memelukku, Ibu
ku berucap “Ibu turut bahagia, jika kamu bahagia, nak!” sambil
mengusap air matanya.
Tak
ingin melewatkannya, aku segera mendaftar ulang.
Dalam
lubuk hatiku, “Inilah secuil jawaban Tuhan yang diberikan padaku,
jika aku mengingat-Nya dan sadar bahwa Dial lah segalanya dalam
hidupku. Terimakasih Tuhan. Terimakasih!”
Selesai
by @aiyu_putri
Comments
Post a Comment